Jumat, 12 Desember 2008

my blog

Seharusnya hari ini adalah dead line dari penelitiannya yang berharga, yang diharapkan akan mencengangkan semua pengajar dan guru besar, yang akan mendapatkan medali kehormatan atau lebih lagi, semua teman-temannya akan memujinya setinggi langit bahwa dia telah membawa sebuah terobosan besar.

“Orang-orang bodoh….picik-ya! Mereka semua sebenarnya bodoh dan tidak tahu apa-apa, yang tenggelam dalam keseharian yang statis dengan buku-buku lama yang usang, ketinggalan jaman, mereka menutup diri……” Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang penuh dengan idealisme dan pemikiran baru dia merasa dalam kungkungan sangkar kuno dan harus menuruti apa yang seharusnya ditinggalkan caranya sejak dari dulu. Sangkar itu harus dibuang dengan yang baru, atau mungkin tidak ada sangkar sama sekali, terserah kita mau makan, minum dan kawin dengan cara apa.

“Tetapi, apakah memang harus begitu adanya?” dia agak bimbang. “Harus kuteliti mulai dari awal?…Ah! Pesetan dengan semua ini!” Kemarahannya memuncak seiring dengan pikirannya yang semakin bingung. Dia merasa seperti seseorang yang ditunjuki jalan tetapi tidak melihat ke arah mana jalan itu menuju, apakah yang menunjuki itu orang yang patut dihormati, pejabat yang suka menipu orang lemah atau malah orang gila yang suka memperlihatkan auratnya di jalan-jalan. Mungkin juga harapannya terlalu besar untuk penelitian kecilnya, atau segala kemungkinan yang lain.

“Seharusnya fenomenologi tidak perlu dipakai di sini. Apa sih istimewanya dia? Oke lah-kamu boleh tersenyum kepadaku, setan tapi suatu saat aku yang akan menyeringai. Lihatlah, dengan memakai hermeneutic-nya Gadamer kau tidak perlu dipakai. Semua orang tahu revolusi industri merupakan kebangkitan di Inggris pada abad ke-19, banyak pabrik di mana-mana, orang pindah mata pencaharian ke kota, polusi…..kenapa aku harus memakaimu? Apalagi ini, lihat..Heidegger…hahaha…aku pintar kan?” Mahasiswa itu sebentar memuji dirinya sebentar tepekur menyesali kenapa tidak terpikirkan dari dulu sebelum bertindak. Kenapa tak ada yang bisa dilakukan pikirnya. Beberapa bulan yang lalu dia dengan sukses membimbing teman-temannya mendapatkan nilai yang bagus-bagus karena penelitian yang dianjurkannya. Teman-temannya berterima kasih dan mencantumkan namanya di buku-buku penelitian mereka. Dia merasa bangga bisa membantu orang lain dan idealismenya didengar. Seolah dia ingin mengatakan kepada semua orang: ‘itu yang bagus itu berasal dari pemikiranku’. Tapi-tidak, tentu saja. Hal itu hanya membuat bodoh dirinya sendiri dan orang lain pasti akan menjauhi dirinya karena arogansinya, karena kepolosannya, lebih baik diam-bukankah diam itu adalah emas? Hmm…sudah lama tidak mendengar kata itu-kalau begitu orang bisu dan tuli lebih mulia daripada mereka yang bicara lantang menyuarakan gagasan dan kebenaran. Dia tertawa sendiri-tersungging senyum getir di bibirnya yang membiru karena sudah beberapa jam tidak tersentuh air atau yang lainnya dan hanya tembakau saja yang setia menemani kebingungannya. Matanya kini diarahkan ke rak buku di mana terdapat buku-buku berjejer dengan rapi. Sebagian sudah lapuk tapi justru kelapukannya semakin orang menaruh hormat kepadanya. Buku-buku yang mungkin tidak akan tersentuh lagi karena dia sudah membaca berulang kali, walau ada beberapa yang hanya sekali namun ingatannya memang masih melekat tentang buku itu bagai seekor anjing menemukan tuannya di keramaian atau seekor burung merpati yang harus menemukan jalan pulang setelah terpisah beratus-ratus kilometer jauhnya. Kini matanya mengarah pada sebuah foto teman-teman seperjuangannya…kemana mereka sekarang? Apakah mereka masih mengingatku? Ah, pasti masih karena…..tapi bagaimana kalau mereka sudah menikah, punya suami dan istri idaman, punya kehidupan yang baru tidak seperti aku yang masih bergulat dengan buku dan penelitian terkutuk ini. Dia menggerutu dalam hati namun tidak dapat menemukan pelampiasan kemarahannya.

“Asri…di manapun kamu berada kini…..” dia menggumam pelan….”Ah, betapa bodohnya aku ini…buang pikiranmu, pikirkan bagaimana kamu bisa lulus dan dapat nilai bagus seperti mereka…ya-seperti mereka”. Tapi hanya itu sebatas pikirannya saja, semangatnya sudah luluh tak berdaya terhantam keangkuhan pemikiran kuno akademika yang terus menjerat kreativitas mahasiswa yang haus akan hal yang baru dengan segala iming-iming pekerjaan sebagai dosen yang santun dan agamis. Agamis? Bah! Kata-kata apa itu? Seperti racun dalam madu yang direguk pelan-pelan untuk mematikan pikiran seseorang. Pikirannya terus berkecamuk dalam dirinya seperti perdebatan antara yang baik dengan yang jahat, Galileo dengan dewan gereja, menantang kemapanan pemikiran yang memang sudah dibangun dengan kuatnya selama berabad-abad seperti kastil atau penjara Alcatraz.

Hari sudah menjelang sore. Mahasiswa itu menyalakan lagi batang rokoknya yang entah sudah keberapa kalinya dalam hari itu. Masih terlalu siang untuk makan, pikirnya, kelaparan dan makan menurutnya hanya nafsu yang timbul dan tenggelam dalam sebuah pemenuhan kebutuhan yang murahan dan rendah, seperti seks. Kopi tadi pagi sudah mengering di gelasnya namun tidak ada semut satu pun hinggap di permukaannya. Mungkin hewan lain akan menyantap sisa-sisa kopi itu, cicak atau kecoa barangkali pikirnya. Tatapannya kosong dan tanpa makna. Dia seolah menolak untuk melihat lagi buku-buku dan kertas-kertas yang berserakan di lantai. Seolah dia mendengar kata-kata yang terus meluncur dari balik daun telinganya. Kata-kata panggilan agar terus berpikir jernih dan menurut, kata-kata yang meluncur dari orang tuanya dan kakaknya yang terkadang membuat hatinya jengkel tidak karuan dan tak pernah ditunjukkan kejengkelannya di depan kakaknya. Hatinya terasa remuk redam dan dendam membara terus membakar dirinya, suatu saat ia akan meledak berkeping-keping seperti aku tergeletak mati dengan tenang di kamar ini-pikirannya terus menggodanya seperti seorang kiai yang digoda oleh sekelompok wanita cantik dengan tubuh telanjang bulat dan harum wanginya menusuk nafsu dan keimanannya. Di sebelah kanannya tape recorder yang dibelinya beberapa tahun lalu, teman setianya yang selalu patuh melantunkan lagu-lagu yang membuahkan inspirasinya, kegembiraannya, kesedihannya, dan semangatnya. Tapi kini hanya sebatas suara yang tak berarti mendayu-dayu keluar dari speaker seperti orang yang tanpa kenal lelah bernyanyi untuk orang-orang yang bebal tanpa mengerti keindahan seni. “kau sudah tua, sudah waktunya mendapatkan pekerjaan agar nantinya kamu bisa mencari uang sendiri” Demikian kata-kata kakaknya terngiang-ngiang di telinga dan kepalanya. Di luar dia mendengar keributan sehari-hari teman-teman kostnya yang akan berangkat entah kemana, atau membicarakan hal yang remeh tapi dibuat hebat, kejorokan-kejorokan lain tentang bercinta dengan perempuan lain yang diceritakan dengan bangga di hadapannya dan teman-teman lainnya. Pernah dia mabuk bersama teman-teman lainnya dan dia menikmatinya dengan amat sangat. Mansion house dicampur root beer sedikit, rasanya seperti kamu meminum segelas coke tapi dengan sensasi tersendiri yang tidak mungkin bisa ditemui apabila kau minum segelas coke murni tanpa campuran apapun. Kita juga masih bisa bicara serius dan terkontrol tanpa harus berteriak-teriak dan mengganggu orang lain. Dan waktu itu teman-temannya memujinya karena campuran baru yang ditemukannya. Ah, masa lalu-apakah akan kembali lagi, tidak! Sudah cukup kegilaan itu.

Suara-suara itu keluar lagi dan kini lebih kuat dan keras. Suara itu berasal dari kertas-kertas yang berserakan tadi menyuruh untuk dilihat dan dilihat lagi. Meminta agar berpikir jernih dan meneliti kembali-ayo, tuan…lihatlah kami, baca kami kembali, teliti dengan lebih tekun agar tuan dapat menyelesaikannya. Dia memandangnya dengan acuh, tak peduli lagi seperti nyonya besar yang kaya dan pelit di hadapan anak-anak kecil yang kurus dan kelaparan meminta sedekah agar bisa makan hari ini. Pikirannya sudah buntu dan tak ada jalan keluar lagi. Suara-suara itu semakin keras terdengar-ayo tuan, cobalah….dia marah bukan kepalang, wajahnya ditolehkan dan dengan muka muak dan jijik dia memandang kertas-kertas tadi. Kemudian dengan tangannya ditumpuknya kertas-kertas itu dan ditaruhnya di mejanya yang berdiri di sebelah kirinya. Nah-kau tak perlu meminta-minta lagi. Aku kubur kamu dalam-dalam, setidaknya untuk sementara waktu ini, pikirnya. Dia merasa menutup pintu bagi suara-suara itu. Nyonya besar yang pelit dan kaya itu sudah menutup pintunya agar pandangannya terhalang oleh pemandangan yang memilukan tentang anak kecil yang kurus dan lapar tadi. Diraihnya bungkus rokok yang tinggal beberapa batang di dalamnya dan melangkah keluar dengan cepat. Langkahnya seperti orang yang terburu-buru terlambat ke tempat kerja. Langkahnya panjang dan pasti, namun tidak seperti pikirannya yang sedang gundah dan merana hanya karena kertas-kertas tadi. Sementara suara-suara tadi masih mengejarnya dari kejauhan makin lama makin mengecil dan akhirnya tak terdengar lagi.

Matanya mengarah pada bangku panjang dari bambu yang teronggok di depan kostnya tepatnya di teras. Terasnya kotor dan berdebu, entah kenapa selalu begitu. Ibu kostnya sering menyapunya setiap pagi dan sore tapi tetap saja kotor. Pemandangan yang biasa sehari-hari. Teras itu biasa dipakai oleh keluarga ibu kostnya untuk bergosip tentang macam-macam. Tentang tetangganya yang baru saja menang undian dan menjadi kaya mendadak, tentang saudaranya yang mau bercerai karena istrinya main dengan laki-laki lain, dan yang paling tidak mengenakan bagi anak-anak kost lainnya yaitu tentang kehilangan barang atau sejumlah uang. Pernah pada waktu itu ada teman kostnya yang kehilangan sejumlah uang dan hal itu diketahui oleh para penghuni kost termasuk dirinya yang masuk dalam daftar orang yang dicurigainya. Tentu hal tersebut membuatnya berang dan marah walaupun seperti biasa, tidak menunjukkan kemarahannya secara langsung. “Oh, ya-mungkin dia yang mengambilnya-kan dia lagi butuh uang buat beli hand phone…” Masih teringat kata-kata ibu kostnya yang menusuknya dan dia menunjukkan kemarahannya dengan tidak bicara dengan ibu kostnya selama seminggu. Hatinya sakit selama sebulan dan hanya itu yang bisa dilakukan.

Langkahnya sampai pada bangku bambu itu. Langkahnya terhenti dan diperhatikan dalam-dalam bangku itu. Harapan yang muncul mengharap hilangnya penat dan capek dalam pergulatan pemikirannya dengan dirinya sendiri beberapa waktu yang lalu. Bangku itu tidak diletakkan sebagaimana mestinya, agak miring dan penataannya asal-asalan. Bangku itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa sang pembuatnya mempunyai selera seni yang tinggi, cukuplah agar nyaman bila seseorang duduk disitu. Sedikit reot memang dan apabila seseorang yang berat badannya agak berlebih duduk disitu akan menimbulkan bunyi berderak mengerikan yang membuat orang yang duduk akan berpikir dua kali apakah bangku itu akan ambruk setelah pantatnya menyentuhnya. Bangku itu sudah berjasa bertahun-tahun hidupnya selama dia tinggal di kostnya. Ibu kostnya membelinya entah sudah beberapa tahun yang lalu, waktu dia masih baru tinggal beberapa hari disitu atau mungkin juga bangku itu sudah ada sejak dia belum tinggal disitu. Dia sering menghabiskan waktunya duduk di bangku itu untuk belajar apabila ujian sudah datang, minum-minum dengan teman-temannya, atau hanya melamun saja-dan itulah yang akan dilakukannya pada sore yang panas itu.

Angin menerpa wajahnya pelan dan dia mengambil napas dalam-dalam seperti seorang napi yang baru keluar dari penjara setelah mendekam bertahun-tahun dalam sel tahanan. Kemudian dengan pelan dia mendudukan pantatnya dan muncul lagi suara berderak namun dia sudah tidak peduli lagi apakah bangku itu akan patah atau hanya menakutinya. “Ah, enaknya bisa santai sejenak” Dia menggumam sendiri kemudian menyalakan sebatang rokok. Suara gemeretak dari tembakau yang dililit kertas terdengar pelan dan dia menghembuskan asapnya begitu rupa sehingga mirip asap knalpot dari motor yang kehabisan minyak pelumas. Ditatapnya jalanan yang ada di kejauhan, satu dua motor melintas-ibu dengan anaknya yang masih kecil dengan tasnya yang kebesaran, orang tua dengan sepedanya, seorang dengan jaket kulit dan tas melingkar di badannya seakan dia sedang terburu-buru ingin pulang ke rumah, semua diperhatikannya.
“Hei, melamun saja-ayo makan…” Lamunannya terhenyak ketika salah satu teman kostnya menyapanya dengan mendorong motor. Dia sedikit gelagapan tapi bisa menguasai diri.

“Duluan deh, aku belum lapar.”
“OK, yo.” Dia hanya tersenyum dan mengangguk memberi tanda. Selalu seperti itu setiap hari. Hanya menyapa tanpa ada percakapan lain. Dia merasa kecewa jarang mengobrol dengan teman-temannya. Teman akrabnya sudah lulus dan bekerja jauh dari kota itu, mungkin sekarang dia sudah menikah dan hidup bahagia layaknya orang-orang yang lain. Oh, Tuhan kapan aku mengalami hal ini, dia terus berpikir bahwa mimpi-mimpi seperti itu tidak pantas bagi dirinya yang selalu kesulitan untuk lulus karena idealismenya. “Mungkin kalau aku sudah lulus dan dapat pekerjaan…pekerjaan? Haha..mustahil terjadi. Buka usaha sendiri? Ah-mana uangnya?” Lamunannya melayang tidak karuan seperti layang-layang putus dan diterbangkan angin sesuka hati. “Mungkin aku tidak akan ditinggalkan olehnya kalau aku segera dapat pekerjaan waktu itu….” Ingatannya melayang ke masa dua tahun yang lalu sewaktu dia masih memiliki kekasih. “Bangku ini……sama dengan bangku waktu aku duduk dengannya……di rumahnya…..ah, ingatan yang kejam-kenapa kau mengingatkan aku ke sana!” Dia masih mengingat dengan detil wajah kekasihnya. Manis, lembut dengan tubuhnya yang terbungkus kaos berlengan panjang berwarna hijau. Dia-kekasihnya itu dulu-selalu memakai rok panjang polos atau bermotif, tangannya kecil dan lembut, matanya yang bulat sangat indah dan terasa teduh bila dipandang. Dia ingat sekali sewaktu memandang matanya untuk pertama kalinya. Mata seorang wanita sejati yang membuat damai hati laki-laki manapun yang melihatnya. Dia bagai malaikat yang turun dari surga untuk menyembuhkan luka dan sepinya hati kaum pria. Bulu alisnya yang sedang melengkung bagai busur dan…….ah ketika tangan dia menyentuh, terasa kegembiraan yang amat sangat dalam hati bagai musim semi yang mengembang setelah musim dingin yang beku dan muram dimana senyum ceria para penghuni bumi menyambut hari baru yang turun dari langit atas anugerah Yang Maha Kuasa. Ketika dia (kekasihnya) berbicara suaranya pelan tetapi terdengar jelas dan tegas. Suaranya terdengar di telinganya sekali lagi seperti memutarnya sekali lagi dalam rangkaian pikirannya. Dia biasanya langsung patuh dan menurut karena dia ingin memperlihatkan cintanya kepadanya. Seakan dia serahkan seluruh hidupnya pada kekasihnya itu. Hubungannya seperti arus yang searah kalau boleh dibilang. Dia teringat sewaktu menyatakan cintanya kepada kekasihnya dengan muka mengharap dan sedikit mengiba. Dan sebenarnya tidak hanya waktu yang menentukan apakah hubungan itu akan selamanya atau tidak. Tidak ada persamaan satu sama lain dan kepura-puraan dari kekasihnya yang memancarkan cinta yang tak tulus. Wajah kekasihnya yang mempunyai senyum menandakan keterpaksaan, tak bisa ditutupi bahkan kepada dirinya sekalipun tetapi dia seakan berbicara kepada kekasihnya: `berbohonglah untuk mencintaiku`. Siapa yang salah tak bisa dikatakan, hanya hati nurani yang dapat menjawabnya. Dan hati nurani? Kemanakah itu selama ini, selama hubungan mereka, tertinggal di belakang-tertutup oleh egoisme dan……..entah apa tapi pasti ada sesuatu yang lain. Nafsu? Tidak, tak separah itu dipikirkan olehnya. Hari-hari berikutnya berjalan dengan kering dan tanpa makna sampai kekasihnya tak kuat dan memutuskan hubungan mereka. “Mas, bagaimana kalau kita bersahabat lagi saja…….kau juga pasti tahu selama ini kita tak mungkin bersatu-aku tak tahu entah apa yang membuatnya demikian tapi…..tetap saja tidak bisa”. Dia hanya tertunduk lesu tak menjawab, dadanya terasa sesak bukan main, tangannya gemetar, harapannya runtuh dalam sekejap oleh kata-kata lembut kekasihnya yang mengalir bagai angin yang berhembus semilir menerbangkan setumpuk pasir halus yang telah ditumpuk selama berhari-hari oleh seseorang dengan susah payah dengan maksud tertentu. Dikumpulkan segala keberaniannya untuk menjawab dengan muka yang tegar namun sebenarnya amat rapuh.

“Baiklah, kalau memang kamu menginginkan demikian, lakukanlah apa yang seharusnya kamu lakukan sejak dulu. Aku lakukan karena aku terlalu mencintaimu.”
“Aku senang kamu akhirnya mengerti.” Kekasihnya menjawab. “Cinta memang tak harus memiliki-ya kan?” Kembali dia terdiam oleh kata-kata kekasihnya yang beberapa menit kemudian sudah bukan miliknya itu. Pandangannya menjadi kabur dan berkunang-kunang, kepalanya terasa berat seperti menanggung beribu-ribu ton beban, dadanya semakin sesak dan jantungnya berdegup kencang namun dia berusaha menguasai diri. Dia teringat bagaimana sikapnya di hadapan mantan kekasihnya, diam tak bergerak dan keringat dingin mengalir deras membasahi pakaiannya. “Kaos itu, kaos itu yang kukenakan sekarang………hahahaha…..bodoh sekali kau, seharusnya kau mengerti dari dulu kau tak pantas buatnya…..kau hanya pecundang tua……kau hanya sampah tak berguna yang bangkit dari kuburan rongsokan……….kau…..” Dia terdiam dalam racaunya, dalam gumamannya. Kini dia menutupi mukanya menahan sedih berkepanjangan, tak ada kenangan indah satupun dari dalam dirinya, segalanya tak ada….teringat pula masa kecilnya yang dianggap paling dungu sekeluarga karena tak bisa mengerjakan matematika dan hitung-hitungan lainnya. Bagaimana ayahnya menampar dirinya berkali-kali karena tak bisa menjawab soal satupun, bagaimana kakaknya mengejeknya begitu dalam sewaktu dia kebingungan dengan soal-soal hitungan sewaktu sekolah. “Suatu saat umurku akan mencapai 35, biarlah kucari cara paling baik untuk mati apabila aku belum dapat menggapai impianku…..sudah dekat sekali…..” Tekadnya memang sudah bulat dan itu sudah direncanakan bertahun-tahun.

Tiba-tiba dia merasa terbangun dalam buaian mimpi, wajahnya menengadah ke atas, mulutnya menganga seperti orang melihat pesawat terbang untuk pertama kali. Dilihatnya langit-langit teras yang kelabu dan kotor, dilihatnya jalanan yang tadi dan masih seperti itu hanya sekarang di hadapannya berdiri seorang wanita tua dengan pakaian yang lusuh dan mengenakan caping yang sudah berlubang. Wanita itu tak mengenakan alas kaki dan kakinya…..Tuhan…..sudah tidak normal lagi. Dia pasti kesulitan dalam berjalan dan bagaimana dia bisa sampai di sini.

“Den-sedekah, Den…..tolong…..”Mukanya memelas. Keriput di mukanya manandakan dia sudah sangat tua dan tidak pantas di luar berpanas-panas seperti itu di usia senjanya. Dengan cekatan sang mahasiswa merogoh kantongnya dan memberikan uang seribu rupiah kepadanya. “Terima kasih…….semoga Allah membalas kebaikan ‘njenengan’…..pareng…..” Sang mahasiswa hanya berdiri terpaku tak berkata-kata. Dia memperhatikan wanita itu berjalan menjauh sampai tak terlihat lagi kemudian dia duduk kembali. Dia terdiam sejenak, menyalakan sebatang rokok lagi dan duduk. Tak ada pikiran lagi dalam dirinya, kepalanya kosong, ingatannya hilang seperti tulisan di pasir pantai yang tersapu oleh ombak. Bahkan ingatan tentang rupa wanita itupun hilang dalam kepalanya, kekasihnya, keluarganya, kisah sedihnya…..pergi entah kemana. Dia pun tak berusaha mencari, dibiarkan saja seperti orang yang terhipnotis dan kehilangan barangnya.

“Kenapa aku di sini? Aku masih ada pekerjaan…….ah, kenapa aku bisa lupa…….”Dia tersadar seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang atau seperti orang yang menemukan dirinya berada di alam lain tanpa kehendak dirinya. Kemudian dia berbalik mencari-cari ingatannya namun sia-sia. Akhirnya dia menyerah dan kemudian kembali ke kamarnya dengan berjalan pelan dan lemah seakan dia baru saja melakukan pekerjaan berat. Kepalanya terasa kosong seperti sebuah tong yang dikuras airnya, masih basah dalamnya menandakan tong itu pernah diisi penuh air, terbayangkan pula betapa berat tong itu ketika air itu masih memenuhinya dan tak ada seorangpun yang bisa mengangkatnya apalagi mebawanya. Perlahan-lahan dia mendekati pintu kamarnya dan melongok-longok ke dalamnya seakan itu bukan kamarnya. Suasana masih sepi, tak ada seorangpun sore itu. Entah kemana teman-temannya pergi dan dia tak peduli.

Yang pertama terlihat adalah tumpukan kertas-kertas putih di atas mejanya. Kertas-kertas yang pernah membuat dia depresi dan marah, tapi sekarang mereka terdiam. Dia melihat kertas-kertas itu seperti kumpulan orang yang menunggu kedatangan sahabat dari jauh. Mereka terdiam menunggu balasan hangat dari sahabatnya yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dia merasa pulang ke rumah di mana segala kerinduan dan kesedihannya tertampung. Sebuah suaka bagi orang yang tersesat di tengah ganasnya lautan kehidupan yang penuh teka teki dan kekejaman. Senyum tersungging di bibirnya melihat kertas-kertas tadi, perasaan lega bercampur haru beradu dalam hati dan otaknya. Kegembiraan perlahan-lahan tumbuh bagai matahari pagi di ufuk timur, seperti bunga yang baru mengembang di musim semi. Dia telah menemukan kembali dirinya setelah berjam-jam berkecamuk kemarahan, kekecewaan dan perasaan putus asa. Didekatinya kertas-kertas tadi, dibukanya buku-bukunya satu persatu dengan masih tersenyum riang. Dia menghela napas panjang tanda perasaan puas karena dia telah menemukan jalannya kembali. “aku tahu…..kau yang sebenarnya penyembuh bagiku……maafkan aku, teman…….” Dia mencermati pekerjaannya kembali, bergelut dengan penelitiannya kembali dan entah berapa lama kegembiraannya akan berlangsung, hanya dia yang tahu.